Percakapan Bisu

Benarkah kau akan pergi sekarang nak?, benarkah rumah ini akan kau tinggalkan?, benarkah ucapan tetangga- tetangga itu?, kapan terakhir kita saling berbicara nak?, benarkah ibu kini sendiri?. Yakinkan ibumu ini nak!. Yakinkah bahwa ini tak selamanya, seperti yang mereka katakan tentang bapakmu. Kalaupun benar,jangan biarkan ini terjadi sekarang duh Gusti.

Akankah kemarau semakin menjauhkanku dari kerinduan?. Mengapa tak Kau turunkan hujan saja sejak dia pergi? biar semakin awet kedukaan ini melandaku. Aku tidak terlalu paham dengan kemarau atau hujan yang seakan keduanya berkonspirasi mematriku dalam kerinduan, dalam kedukaan, dalam kehilangan yang kubuat samar. Semua yang terjadi tidak akan mengubah kesendirianku di tempat ini. Tetap saja membuatku sendiri. Tanpa anakku.

Dia pergi, ya dia memang pergi. Tapi, apa aku sadar?. Aku sadar bahwa kepura-puraan yang aku ciptakan membuatku seolah tak sadar. Jangan berusaha membangunkanku dari ketidakpedulian ini, karena itulah yang sengaja membuat hidup lebih tenang. Paling tidak selama aku menanti jemputanMu untuk bersama anakku dan juga suami yang entah sudah bersamaMu atau masih Kau permainkan bersama dunia yang kurang bersahabat dengan keluargaku.

Kalau sudah begini mau bicara sama siapa? Tembokkupun sepertinya tak mau ku ajak berdamai. Haruskah aku mengaduh lagi. Jika memang aduhanku ini bisa mempertemukan dengan anakku, akan kulakukan perbuatan pecundang ini setiap hari. Sayangnya tidak seperti itu. Justru akan semakin membangkitkan naluri-naluri untuk terus menyesali.

***

Malam itu, benar waktu itu malam. Dadang,anakku berbicara padaku mengenai niatnya untuk mencari bapaknya, suami yang kata orang sudah mati karena ombak yang telah menghantam ferry yang ia tumpangi 5 bulan lalu. Suamiku bukan nahkoda, nelayan atau sejenisnya melainkan sekedar penumpang. Sempat terpikir untuk melarang niatan Dadang yang sebenarnya wajar untuk sebuah keingintahuan, mencari kepastian lebih tepatnya.

Dadang bukan tipe orang yang suka atau pandai mengutarakan sesuatu secara lisan. Tidak bisu, dia hanya tidak mau melakukan pembelaan terhadap kontradiksi yang sifatnya subjektif. Melakukan pembuktian yang memang tidak harus dibuktikan secara teoritis. Dia menuliskan surat atau prosa entah aku kurang tahu yang jelas begini tulisannya.

“ aku akan pergi
Sebab ingin mencari
Semua sudah tahu,aku mencari bapakku lagi
Yang sejak tiga januari tidak kutemui
Entah sudah berbini, atau lali dengan anak istri
Bahkan tetangga bilang bapak sudah mati
Waktu badai menyambar fery yang dia tumpangi
Aku tetap pergi
Dan kurasa ketiadaanku kali ini akan lama
Dadang ”


Tulisan itu aku temukan dibawah kompor minyak tanah 18 sumbu yang sudah tidak terpakai lagi. Selipan kertas dadang itupun juga tak sebaik kondisi kertas pesan pada umumnya. Bermaksud memberitahuku secara misterius atau berusaha menyembunyikan secara tidak rapat ditempat yang tak mungkin aku hindari. Bagitulah Dadang, dia bukan seorang anak yang hangat yang piawai cari muka didepan banyak orang. Termasuk kepadaku juga, ibunya sendiri. Satu hal yang masih harus kupikirkan adalah mengapa dia mengatakan bahwa kepergiannya kali ini akan lama. Bukankah tujuannya hanya memastikan keberadaan bapaknya saja?. Mengapa dia menuliskan kalimat itu di akhir tulisan. Entahlah, toh surat itu kutemukan saat Dadang sudah pergi. Sudah tak bersamaku lagi. Tidak ada guna memikirkan sesuatu yang terlanjur. Kalau hanya untuk kembali mengingat penyesalan-penyesalan yang memang harus disesalkan. Ku biarkan seolah semua akan baik-baik saja.

Aku tidak terlalu dekat dengan anakku ini. Tapi paling tidak, aku dapat menceritakan sedikit kahidupannaya selama bersamaku.
Seingatku dia tidak pernah mengeluh atau sedikit bersemangat. Sikapnya terlihat acuh terhadap kondisi. Membiarkan alurlah yang menuntun kemana dia harus berjalan mengikuti. Dan sesekali harus istirahat untuk bernegosiasi dengan Tuhan tentang kelanjutan hidupnya. Berangkat sekolah , pamit, pulang, makan, istirahat , sesekali keluar rumah bersama temannya, sedikit belajar,dan itulah rutinitasnya tiap hari. Kadang membuatku jengkel dengan kebosanan yang dia tunjukkan. Dan tak jarang umpatanku mampir ketelinganya. Lagi-lagi seakan dia acuh dengan bualanku. Menganggapku remeh. Membiarkan bualanku bak lagu sendu pemikat nestapa. Dia bukan anak yang baik menurutku. Tidak pernah dia membuatku bangga atau membuatku lega yang berkecukupan. Aku juga tidak habis pikir mengapa aku selalu menyalahkan Dadang disetiap berbuatannya. Menganggapnya selalu cela. Tapi memang itu yang aku rasa tiap melihat hidupnya. Salah. Menjadikanku acuh padanya. Begitu juga dengannya. Tak ada usaha untuk memperbaiki hubungan ibu-anak. Sudah terlalu pekat untuk dicairkan.


Tidak ada kalimat dear diary dikertas yang aku temukan setelah surat kepamitannya yang pertama. Tapi aku yakin ini ucapan yang tidak dapat dia ungkapkan. Sepertinya tulisan ini sudah lebih tua. Terlihat dari warna kertas kusam karena cuaca dan kondisi kertas yang lebih lentur cenderung sobek dengan tinta yang agak luntur meyakinkanku akan usianya. Bukan lagi dibawah kompor, sekarang diatas tumpukan baju kotor. Begini yang dapat kubaca.

“ Seingatku aku tidak pernah mengatakan ‘ aku sedang bersedih,ibu’. Itupun kalau aku masih dianggap punya ingatan olehnya. Celakanya, dia tidak tahu dan entah tidak mau tahu dengan segala peluhku. Ya, dia ibuku. Yang banyak orang katakan sebagai orang yang luar biasa, orang yang tak pernah mengeluh untuk anaknya, orang yang tidak akan membuat anaknya bersedih dan orang yang mau menerima peluh anaknya. Itulah yang selalu tertanam. Dan itulah yang membuatku semakin merasa tidak beruntung.

Aku tidak tahu sejak kapan rasa acuh ini tertanam dan semakin sering bergejolak. Walau tak dapat dipungkiri keacuhan ini kadang padam oleh sedikit ucapannya, aku menyebutnya keramahan. Hanya sedikit. Dan aku berharap hal itu akan berkembang untuk menghindarkanku dari keacuhan-keacuhan yang akan semakin akut, untuk meniadakanku dari kata durhaka. Andai dia bukan ibuku, andai keacuhan ini segera dipadamkan, andai ucapan dari hati itu sering dipertemukan, andai yang mengacuhkanku bukan dia, andai durhaka itu hanya sepi yang menepi tanpa arti dengan batas yang dapat dihempas. Keacuhan ini sudah terlalu mengakar kuat didalam batin kami.

Seandainya masih banyak lagi ingatanku,aku akan jauh lebih menggila. ”


Sejak aku menemukan tulisan itu, satu persatu tulisan Dadang yang lain aku temukan. Entah dimana aku menemukan aku sudah lupa karena dia sengaja menaruh tulisan-tulisan itu secara berpencar. Supaya tak kutahui alur cerita keluhannya. Dan sejak saat itu juga aku tahu ternyata Dadang menyimpan kepedihan lebih dariku. Padahal aku merasa kepedihan yang sekarang sedang mendera hidupku sulit untuk ku atasi. Bagaimana Dadang bisa menyembunyikan semua ini dariku,dari orang-orang yang dia kenal? Dengan tulisan-tulisan yang kutemukan inilah dia berhasil membuat hidupnya tetap menjadi hidup mesti terlihat tak bernyawa, setengah hati dia mencoba hidup.

Sering kali aku memakinya, menyindir hidupnya yang menurutku tak akan ada harapan masa depan yang cemerlang. Benarkah aku sering melakukan itu?. Dalam tulisan Dadanglah aku temukan sikap intimidasi yang ternyata sering aku limpahkan padanya. Hanya karena sering melihat anak-anak para kolega yang sebenarnya tak lebih baik darinya.

“ mau jadi apa kamu?, mau jadi apa kamu?, mau jadi apa kamu?. Mengapa orang tuaku selalu menanyakan hal itu dengan nada sindirannya. Mengapa bukan motivasi yang sekiranya dapat ku terima untuk merealisasikan sindiran-sindiran itu. Aku lebih dari seorang terdakwa yang harus selalu menerima keputusan, celaan, diskriminasi, interversi dari mereka-mereka yang memang punya hak besar dalam hidupku. Dan selebih adalahnya aku tidak berhak mengajukan pledoi seperti para terdakwa pada umumnya. Mereka teramat erat mengunciku dalam aturan-aturan tirani yang tak mungkin aku hindari karena aku sudah terlanjur masuk dan terpasung didalamnya. Sesekali aku ingin menunjukkan kapasitasku sebagai manusia yang notabene punya hak untuk menjelajah hidupku sendiri,pribadiku. Dan lagi-lagi caraku dianggapnya salah. Tidak sesuai aturan konvensional yang mereka anggap lebih mulia, lebih tepatnya dimata orang lain. Mereka selalu memikirkan pandangan orang lain yang menilai. Padahal ada satu hal yang harus mereka ketahui bahwa hidupku tak akan lebih baik dar mereka-mereka yang sudah ada kalau hanya menuruti kisah sukses terdahulu. Tidak akan lebih baik jika kita hanya menjadi seorang plagiat. Kecuali Tuhan berkata lain mengenai keberuntungan kita. Keberuntungan yang entah kapan diwujudkan dan entah kepada siapa diberikan.”


Banyak fakta-fakta yang aku temukan dari tulisan peninggalan anakku ini. Bodohnya lagi, aku tak pernah sadar dengan segala yang aku lakukan. Aku menganggap semua yang aku lakukan hanyalah didikan orang tua yang seharusnya memang dilakukan. Tidak ada maksud dariku memberikan satu jalan yang harus dia lalui tanpa pilihan-pilihan yang membuatnya senang. Aku tidak tahu jika Dadang menganggap ini semua tidak lain dari jeruji besi yang permanen. Yang menjadikannya jalan ditempat dan sesekali istirahat mengendorkan keletihan dengan kondisi yang akan terus begitu.

“ aku tahu bahwasanya bukan hanya aku yang hidup dalam lingkup keluarga dengan atmosfer seperti ini. Tapi tidak ada satupun yang meyakinkanku bahwa aku tidak sendiri. Dan sampai saat ini kubiarkan mereka tetap menjajahku. Hingga suatu saat aku berharap mereka tahu bahwa aku berhak hidup dengan apa yang aku punya, bukan dengan apa yang meraka harapkan. Aku akan bertahan dulu dengan intervensi-intervensi yang mengintimidasiku. Biarlah ke tidak berutunganku ini berlanjut. “


Tulisan keempat yang aku temukan ini juga belum membuatku bergegas untuk meneliti apa saja yang telah dia rasakan selama hidup bersamaku. Aku justru berpikir kebelakang mengapa usahaku menjadikannya sosok yang dapat kubanggakan tak juga terwujud. Itulah sebabnya. Dia tidak mendengarkanku sepenuh hati. Dia hanya mendengar semua aturanku sebagai wacana yang didendangkan. Bukan hanya dia sebagai anak yang merasakan tekanan. Aku juga merasa gagal menjadikannya seorang yang sesuai harapanku saat ini. Masihkah kalian menyalahkan kami semata sebagai orang tua?.

Aku hanya berusaha terus membaca lembar demi lembar yang aku temukan. Lembar demi lembar yang akan mengingatkanku pada kegagalan, tekanan, ketegaran dan penyesalan. Inilah yang sekarang harus kuraba dengan secuil pengharapan mengenai ketiadaan yang akan memperbaiki semuanya. Semoga saja.

Ini adalah tulisan terakhir sebelum dia memutuskan meninggalkan rumah ini. Sengaja dia selipkan dibelakang lukisan kuda dipojok kanan ruangan bercat hijau muda. Ruangan 4 X 5 meter yang hanya berisi karpet bunga merah ukuran 3 X 3 meter dan sebuah televisi 21inch terlihat sudah sesak. Tidak lebih sesak dari pikiranku sekarang akibat tulisan-tulisan kalengnya.

“ ibu, aku tidak bermaksud membuatmu semakin berduka dengan ketiadaan bapak yang entah kemana. Aku juga tidak bermaksud menjadikan rumah ini semakin sepi,karena aku tahu bahwa dengan keberadaanku saat itupun nyatanya tidak membuat rumah ini lebih ramai. Aku merasa inilah waktu yang tepat setelah aku menunggu bertahun-tahun dengan pengharapan adanya pemerintahan baru yang lebih demokratis dirumah yang maaf,aku menyebutnya penjara kaum militan ini. Mencari bapak adalah alasan yang sepertinya tepat untuk kepergianku saat ini. Tapi sekali lagi maaf jika aku sudah membohongi ibu bahwa sebenarnya tujuan utamaku bukan untuk mencari bapak melainkan untuk menghindari sikap tirani yang selama ini telah membuatku tersingkir dari mimpi-mimpi besarku. Mimpi besar untuk menjadi seniman yang menurut bapak dan ibu hanya akan membuat kita semakin gaduh terasing dalam kegilaan dunia ini, dan yang tak kalah penting menurut kolega kalian adalah pekerjaan orang yang tak punya masa depan. Tapi inilah yang aku sebut masa depan. Aku hanya meminta restu dari ibu untuk kelancaran masa depanku ini. Aku akan pulang ketika masa depanku bisa ibu banggakan dan sukses tentunya. Dan satu hal lagi, aku akan sukses hanya dengan restu dan doa dari ibu. “


Aku masih bingung bagaimana menjadikan bubur ini kembali menjadi nasi. Solusinya hanya dengan mencari beras baru untuk dijadikan nasi. Mengenali karakteristiknya, memasaknya dengan sederhana, sabar dan teliti hingga tak ada lagi kelalaian yang akan merubahnya menjadi bubur. Tidak perlu menambahkan sesuatu yang berlebih. Hanya butuh berada pada tingkat cukup. Dan semua akan berjalan.

0 uneg - uneg:

Posting Komentar